Minggu, 16 Oktober 2011

> Tuhan itu tidak Ada

Saya sering menulis Tuhan tidak ada, Tuhan saya bunuh, Tuhan omong kosong, dan seterusnya dengan lontaran cadas menyeramkan. Hingga banyak pembaca kalang kabut, ngeri, lalu lari tunggang langgang. Dan sebagian mereka tak sabar lalu mengamuk melempari saya dengan granat kata-kata. Bahkan seorang Pepi, sempat menjadikan saya target utama untuk dilempari bom buku sebelum Ulil Abshar Abdalla. Akan tetapi juga tidak sedikit yang merasa tercerahkan oleh tulisan saya, yang pengakuan mereka langsung mendarat di email, inbox dan chat boox saya dimanapun saya berada di dunia maya.

Singkat kata,
Riwayat saya di medan tempur wacana agama di belantara maya hiruk pikuk sudah.

Tapi saat ini …
Akan saya eja dengan lain cara.

Tuhan, sejatinya tidak mungkin saya bunuh. Mana mungkin. Bagi saya, tidak ada satu mahkluk yang paling gagah pun yang akan sanggup membunuh Tuhan. Menemukan Tuhan, proses mencari Tuhan, berlangsung sepanjang hayat usia manusia. Itu pun terseok-seok jatuh bangun tidak karuan. Perih dan menggetirkan. Mengguncang nalar merinding bathin. Apalagi untuk membunuh Tuhan.

Tuhan yang saya bunuh, adalah Tuhan imajiner. Tuhan yang ada dalam imajinasi saya. Karena imajinasi itulah yang merusak saya. Karena Tuhan menjadi seperti keinginan saya. Menjadi seperti dambaan saya. Dengan kata lain, saya mengukir Tuhan sesuai keperluan saya. Secara psikologis, tentu manusiawi. Karena tidak ada cara lain untuk membayangkan Tuhan selain berimajinasi. Tapi secara teologis, adalah keliru menganggap Tuhan yang saya bayangkan adalah Tuhan yang sebenarnya, yang terlalu agung, tak terbatas, jauh teramat jauh di luar batas kemampuan saya untuk memahaminya. Apalagi untuk menunjukNya sambil berseru: “Inilah Tuhan!”

Jebakan imajinasi inilah yang saya coba lepaskan.
Hanya saja, saya melemparkan semua penghayatan ini kemana-mana di setiap sudut bumi maya. Hingga tidak semua pembaca selamat saat melahapnya. Tidak sedikit yang mabok, pingsan dan kejang otot penafsiran. Maka sekarang saksikanlah saya dengan keyakinan saya yang sebenarnya.

Tuhan, bagi saya adalah puncak penghayatan metafisis.
Puncak penerawangan bathin.

Tidak ada topik yang paling menarik bagi saya selain perbincangan mengenai Tuhan. Lama sudah saya geluti. Dalam sendiri di ruang bathin. Dalam sunyi dalam malam dalam gelisah yang tak terperi. Tak ada yang tahu bagaimana kecamuk bathin saya mencari Tuhan dalam kesadaran diri. Selain hanya bercermin dan bertarung dalam diri sendiri.

Pembaca….
Tuhan, tak akan kemana. Dia selalu ada dan hadir. Dimana-mana. Sampai kapan pun. Tapi Tuhan sekaligus juga mudah mati dalam kesadaran saya. Dalam hidup saya. Dalam kecamuk sosial masyarakat. Bahkan dalam agama, Tuhan begitu mudah mati. Digantikan oleh berhala-berhala yang bernama penyembahan terhadapa ritualitas seremonial. Penyembahan terhadap pemuka-pemuka agama dan pimpinan ajaran spiritual tertentu.

Tuhan, melampaui segala yang ada.
Tak terjamah, tapi selalu ada.
Karena Tuhan adalah ROH. 
Roh yang menjadi darah daging Alam Semesta.

Tuhan yang saya yakini, bukanlah objek. Bukanlah sebuah persona. Bukanlah sebuah sosok yang terpisah dari alam apalagi diri saya. Tapi Tuhan yang saya yakini adalah Tuhan yang meresap dalam segala zat dalam segala yang ada. Dia adalah sumbu mistik kehidupan. Disebut atau tidak, dinyatakan atau tidak, diyakini atau tidak, bahkan ditolak sekalipun, DIA, Sang Tuhan, selalu ada.

Siapakah Dia?
Tidak bisa saya lukiskan. Tapi bagi saya Tuhan juga bukan khayalan.
Tuhan bukan nabi, malaikat, setan, nabi,dll.
Tuhan bukan kitab Suci. Tuhan bukan Alquran bukan injil bukan Alkitab dan seterusnya.

Tuhan, bagi saya adalah perasaan yang berkecamuk dalam diri saya
Tuhan adalah kerinduan. Tuhan adalah kegetiran hidup yang tak tertahankan. Tuhan adalah embun sejuk yang membasahi pagi. Tuhan adalah kehangatan mentari. Tuhan adalah keindahan Rembulan. Tuhan adalah tangis bayi di malam hari. Tuhan adalah nikmatnya senggama. Tuhan adalah segarnya es rumput laut.

Dan Tuhan adalah ditemukannnya energi listrik. Tuhan adalah ditemukannya internet. Tuhan adalah kemunculan, Facebook dan entah apalagi.

Tuhan, bagi saya selalu mengepung saya.
Sejak saya lahir, hingga saya mati. Jadi tanah.
Jadi cacing dan bangkit lagi menjadi dan kembali padaNya.

Itulah sebabnya sering saya lontarkan Tuhan tidak ada.
Karena saya tidak bisa mencariNya. Karena Dia adalah Saya. Anda dan kita semua. Dan …. semua entitas Alam Semesta. Tak satupun lepas dari substansi Tuhan. Meski yang disebut adalah ini dan itu, tapi sejatinya yang disebut dalah Dia. Tidak ada selain Dia. Hanya Dia yang ada. Tidak ada tandinganNya. Dia satu-satunya ZAT yang otentik. Dan saya, anda, semua mahkluk hidup, Alam Semesta, adalah serbuk tak terhingga dalam Dia.

Tuhan, bagi saya hanya sebuah istilah.
Tapi rohNya, kehadiranNya, kesadaran akan Dia, sudah include dalam diri setiap manusia.
Sejak manusia dilahirkan. Sejak alam ada, serentak Tuhan didalamnya.

Jadi, bila dipandang secara personal, sebuah sosok pribadi yang berdiri di luar alam semesta, maka bagi saya Tuhan tidak ada. Ini yang sering disebut sebagai Atheisme. Dan saya termasuk di dalamnya. Tapi bila dipandang secara totalitas, saya meyakini ada pusat energi, medan mistik Alam Semesta, pintu bathin, visi ruhani, dan apapun istilahnya.
Dan itulah Tuhan bagi saya